Meskipun pengaruhnya tidak terlalu besar dalam peradaban etnis minangkabau, namun ternyata terdapat penggalan warisan budaya China di Minangkabau. Mari kita tengok sejauh mana ikhwal perjalanan seni dan budaya China itu dalam pengembaraannya pada budaya minangkabau ?
Dari pedalaman minangkabau, baik yang berpusat di Pagaruyung maupun Tanjuang Sungayang, belum ada pengaruh budaya asing yang singgah dipedalaman itu, selain perubahan pengaruh agama Hindu atau Budha dibawa oleh pengaruh hegemoni kerajaan Majapahit ke wilayah ini dalam setting sejarah Adityawarman sebagai Raja Pagaruyung. Adat yang bergulir menjadi undang-undang yang wajib dipatuhi masyarakat, dalam menciptakan tatanan masyarakat serta hubungan antara masyarakat dalam Korong, jorong, dan nagari – nagari, dipimpin oleh Basa Ampek Balai.
Beberapa abad kemudian – pertumbuhan budaya dan kesenian sebagaimana yang kita kenal sekarang ini, berproses melalui asimilasi dan akulturasi.
Wilayah yang mudah berdaptasi melalui proses asimilasi dan akulturasi adalah wilayah pesisir pantai. Dalam pembagian luhak atau system pemerintahan di Minangkabau, wilayah pesisir pantai ini dikenal dengan sebutan “ Rantau “.
Sejauhmana pengaruh asing dalam peradaban etnis minangkabau ?. Mari kita coba uraikan – penggalan warisan budaya China di Minangkabau. Sejauh manakah ikhwal perjalanan budaya itu dalam pengembangan budaya minangkabau ?
Kedatangan bangsa China dimulai dari pesisir pantai, berpusat di Kota-kota pesisir yaitu : Padang, Pariaman dan Painan. Di Kota Padang, sekitar abad ke-14, daerah ini cuma kampung nelayan yang tak terkenal, dan baru di akhir 1790-an menjadi pelabuhan yang banyak dikunjungi kapal pedagang dari Inggris, Perancis, Portugis, dan Cina.
1. Pecinan - Kampuang Chino :
Kampung Cina – Pecinan kota Padang, terletak pada pusat kota lama Padang, tidak jauh dari pelabuhan “ MUARA”.
Sejak kapan kedatangan mereka ?. Keberadaan masyarakat Tionghoa di kota Padang, tidak jauh berebeda dengan kedatangan orang China ke Indonesia. Pada saat berkuasa Kompeni Belanda di Negara kita, kl. Abad 15. Dimanapun ia berada, pada umunya ciri perantau China – selalu bermukim di dekat pasar, baik itu pasar tradisional yang memperdagangkan komoditas lokal maupun pasar pelabuhan yang memperdagangkan komoditas ekspor impor. Hal itu dilatar belakangi kegiatan orang Tionghoa banyak berhubungan dengan perdagangan. Untuk mempermudah aktifitas mereka dalam berdaganag, maka ia membangun suatu komunitas atau perkampungan. Dari sinilah kita mengenai istilah ” kampung Cina, Pecinan, dll
2. Seni menyulam :
Seni menyulam di tangan padusi Minangkabau dikenal dua jenis, yaitu : kapalo panitik dan suji caie (sulaman halus).
Pasca kedatangan orang Cina di Kota Padang, ditunjukkan dengan tampilnya Pelaminan Minang yang bernuansa singgasana kekaisaran Dinasti Tiongkok. Minangkabau mengolahnya menjadi sebuah Pelaminan yang disesuaikan dengan falsafah kehidupan berumah tangga bagi pasangan penganten.
“ Baju Anak Daro berkualitas “ adi busana”, karena dijahit diatas kain sutera. Pada kain sutera itu ditempelkan atau bubuhkan benang emas, sebagai suatu seni menjahit sulaman yang tinggi, yang kita kenal dengan sebutan “ baju Bajahik”. Sulaman itulah yang kenal dengan sebutan kapalo panitik dan suji caie itu.
Secara keseluruhan bahan bajunya, berupa kain sutera, benang emas dan benang sulam diimpor dari negara masing-masing, yaitu ; Benang emas berasal dari India, kain sutera berasal dari China termasuk benang suteranya. Umumnya, desain sulaman, berupa bunga – serangga – burung hong – naga, sangat terlihat jelas pada desain baju “ bajahik tradisional” kala dulu. Selendangnya pun dibuat dengan desain yang sama dengan baju kurung berjahit itu, dari masa kemasa hingga sekarang tidak berubah. Demikian pula halnya, kita masih menemukan beberapa selendang “ bajahik “ , seperti halnya baju kurung.
Di Kota Padang lebih satu abad yang lalu, penjahit baju anak daro ini – dilakukan oleh wanita-wanita China itu. Saya masih menyimpan baju pengantin buatan perempuan Cina yang sudah berusia k.l 1 abad.
Sekarang ini – karena pengaruh zaman, perubahan dari waktu ke waktu tidak bisa dihindari, mengingat begitu banyaknya bahan-bahan baju yang sudah tidak memerlukan pekerjaan tangan lagi, karena sudah dikerjakan dengan menggunakan mesin.
3. Baju Guntiang Cino :
Selama ini kita mengenal Baju Koko sebagai pakaian pria muslim. Di Minangkabau baju “ Koko” ini disebut baju “Guntiang Chino “ . Ke Khasan ” baju guntiang chino ” itu ialah pada potongan badan dan lengannya. Baju itu menjadi khas karena dijahit terawang, pada dadanya.
4. Sunting Anak Daro :
Amatilah mahkota apa yang dijunjung oleh anak daro Minangkabau. Mirip sekali dengan mahkota Permaisuri dari kekaisaran Tiongkok itu bukan.. ? Pendahulu kita – meniru mahkota sang permaisuri dari Tiongkok itu, menjadi “ sebuah sunting yang indak dan catik ini. Sunting Anank Daro adalah produk asimilasi yang masuk menjadi bagian dari budaya minangkabau khususnya kota Padang dan kota Pesisir lainnya.
5. Pelaminan
Sebenarnya sebuah pelamiman adalah seni dekorasi ruang. Bagi Minangkabau – pelaminan ini adalah symbol dari kedudukan raja dan ratu. Dahulu kala – terutama diwilayah pesisir pantai – hanya kaum bangsawan yang bisa duduk dipelaminan lengkap kala itu. Pelaminan tidak bisa dipakai untuk rakyat kebanyakan. Siapakah yang diperbolehkan memakai pelaminan itu ?
a. Jika di Pariaman, ialah para anak keluarga Sidi, Bagindo atau Sutan.
b. Di kota Padang, ialah para anak keluarga Puti atau Sutan.
Sepasang pengantin yang dipersandingkan berdua – dapat diumpamakan sebagai raja ratu sehari, Pasangan ini dianggap memakai singgana golongan ningrat atau terpandang itu. Karena itulah, dikala dulunya – pelaminan ini hanya dipakai pada orang –orang tertentu saja. Orang lain yang bukan keturunan Puti – atau berinduk bako “ Puti atau Siti, harus meminta izin lebih dahulu kepada Puti Puti itu. Bagi rakyat kebanyakan – namun memiliki kemampuan keuangan lebih – dapat menyewa atau membayar para Puti itu, sebagai pihak yang mendampingi anak daro disaat dipersandingkan. Jadi pada masa itu – secara tidak sadar telah terjadi komersialisasi pada budaya.
Pada masa dahulu itu, saya masih menyaksikan didepan pelaminan, para puti puti itu duduk bersimpuh sambil mengunyah sirih mendampingi anak daro. Jika ada yang mempersoalkan tentang penggunaan pelaminan oleh seorang anak daro yang berasal dari kaum kebanyak, maka Puti Puti itu akan bersuara – bahwa ia meminjamkan “ pakaiannya pada anak daro yang duduk di pelaminan. Pelaminan yang berada dibawah penguasaan Puti – puti itulah yang menampilkan suasana singgasana kekaisaran Tiongkok. Apakah ini termasuk penjiplakan yang dilakukan oleh orang berbangsa kala dulunya atau adaptasi tata cara berbudaya china …??
Konon katanya, bagian-bagian dari pelamin itu tidak sekedar hiasan belaka, melainkan mengandung pemaknaan sebuah rumah tangga.
Di pesisir Minangkabau/Rantau, warna warna yang mendominasi warna pelaminan dilambangkan dalam 3 warna, yaitu ; hijau – merah dan kuning. Ketiganya dipersatukan dalam tigo sapilin untuk mengikat sebuah limpapeh . Limpapeh itu adalah tiang utama rumah tangga.
Arti warna itu ialah :
* Warna hijau , melambangkan raja muda,
* Warna kuning, sebenarnya raja,
* Warna merah, raja berani
Bagian-bagian dari pelaminan yang lambang kedudukan orang orang terpandang itu adalah :
- Banta Gadang, lambang kedudukan seseorang, untuk kalangan bangsawan atau orang orang yang dihormati.
- Limpapeh, sebagai tiang yang kokoh pada sebuah rumah tangga yang berbalut dengan kain 3 warna sapilin.
- Tabir, sebagai pelindung yang menaungi suatu rumah tangga pengantin.
- Tirai ;
Jumlah lapisan tirai tergantung dari siapa yang akan duduk pada singgasana pelaminan itu. Bagi orang yang berpangkat raja, manti masing masing akan menggunakan 7 atau 3 lapisan tirai. Sedangkan bagi rakyat kebanyak hanya 1 lapis tirai saja.
Yang menarik dari lambang Tirai yang berlapis-lapis ini yang disebut “ Puti Manyibuak”. Puti Manyibuak ini, merupakan lambang dari kalangan wanita untuk mampu menjaga diri dari gangguan dan godaan pihak luar.
Seorang wanita baik ia seorang gadis, maupun yang sudah berkeluarga harus mampu menjaga harkat dan martabat dirinya sebagai seorang wanita. Ia melakukan upaya penyelidikan terlebih dahulu – siapa orang yang mendatangi rumahnya.
Disinilah melakukan pengintipan lebih dahulu ‘ yang disebut manyibuak .
5. Lidah lidah naga :
Di China, naga dipercaya sebagai dewa pelindung, yang akan memberikan rezeki, kekuatan,kesuburan, dan juga air, karena pada umumnya masyarakat China adalah masyarakat agraris. Lambang ini sangat sesuai dengan ciri khas masyarakat minangkabau yang mengandalkan kesuburan tanah pada air, serta mendatangkan rezeki pada masyarakatnya.
Bahkan dalam pengertian yang mulia, arti minangkabau adalah minang = air dan kerbau = kekuatan.
Karena itu, ketika Orang Cina yang merantau di pesisir Minangkabau dulunya, yaitu : Kota Padang, Pariaman memperkenalkan symbol symbol ini pada pelaminan.
6. Banta kopek ;
Bantal bantal kecil yang ditaruh pada hamparan pelaminan itu.
Demikian uraian dari penggalan budaya Cina yang diwariskan kepada masyarakat Minangkabau zaman dahulunya.
Dengan adanya pengaruh dari pihak luar, baik melalui adaptasi , asimilasi, akulturasi, maka penggalan budaya ini akan semakin menipis dan bukan tidak mungkin akan habis ditelan zaman.
|
|
Labels:
Indonesia
1 comments:
Good Arcitle i Like it.
Please Visit :
agen poker terpercaya
agen poker online
bandarq online
sakong online
poker online
agen poker online
bandarq online
sakong online
poker online
agen poker online
bandarq online
sakong online
poker online
trik bermain poker online
tips bermain sbobet
Prediksi Bola Jitu Dan Terpercaya
Komentar di: Adaptasi Seni Budaya China di Minangkabau
Berkomentarlah dengan sopan dan pastikan komentar anda bukan spam. Komentar spam akan dihapus.